Beberapa lontaran dialog panjang dalam filem ‘Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck’ terbitan tahun 2013 memang sentiasa diingati peminat filem.
Rupa-rupanya, filem yang mengangkat karya Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau HAMKA tahun 1938 itu adalah ayat-ayat asal dalam novel ulama Nusantara berkenaan.
Filem pecah panggung Indonesia lakonan Pevita Pearce sebagai Hayati, Herjunot Ali (Zainuddin), Reza Rahadian (Aziz) dan Randy Danistha (Muluk) itu mengutip sebanyak AS$4.6 juta bersamaan RM19.3 juta.
Menonton filem yang menceritakan tentang cinta Zainuddin dan Hayati yang terhalang dek adat istiadat dan kelas dalam sosiobudaya Minangkabau ini turut membuatkan kita ‘hanyut’ dalam kehalusan indahnya akal budi bahasa Melayu.
Mari kita baca kembali dialog panjang yang menjadi ingatan orang ramai terhadap naskhah ‘Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck’ ini:
Zainuddin : Maaf? Kau regas segenap pucuk pengharapanku. Kau patahkan. Kau minta maaf…?
Hayati : Sudah hilangkah tentang kita dari hatimu? Janganlah kau jatuhkan hukuman, kasihanilah perempuan yang ditimpa musibah berganti-ganti ini.
Zainuddin : Demikianlah perempuan, ia hanya ingat kekejaman orang kepada dirinya walau pun kecil dan ia lupa kekejamannya sendiri pada orang lain padahal begitu besarnya.
Zainuddin : Bukankah kau yang telah berjanji ketika saya diusir oleh Ninik Mamakmu karena saya asalnya tidak tentu, orang hina, tidak tulen Minangkabau, ketika itu kau antarkan saya di simpang jalan, kau berjanji akan menunggu kedatanganku berapapun lamanya, tapi kemudian kau berpaling ke yang lebih gagah kaya raya, berbangsa, beradat, berlembaga, berketurunan, kau kawin dengan dia.
Kau sendiri yang bilang padaku bahwa pernikahan itu bukan terpaksa oleh paksaan orang lain tetapi pilihan hati kau sendiri. Hampir saya mati menanggung cinta Hayati.. 2 bulan lamanya saya tergeletak di tempat tidur, kau jenguk saya dalam sakitku, menunjukkan bahwa tangan kau telah berinai, bahwa kau telah jadi kepunyaan orang lain. Siapakah di antara kita yang kejam, Hayati?
Zainuddin : Kau pilih kehidupan yang lebih senang, mentereng, cukup uang, berenang di dalam emas, bersayap uang kertas. Siapakah di antara kita yang kejam Hayati? Siapa yang telah menghalangi seorang anak muda yang bercita-cita tinggi menambah pengetahuan tetapi akhirnya terbuang jauh ke Tanah Jawa ini, hilang kampung dan halamannya sehingga dia menjadi anak yang tertawa di muka ini tetapi menangis di
belakang layar.
Tidak Hayati, saya tidak kejam. Saya hanya menuruti katamu. Bukankah kau yang meminta dalam suratmu supaya cinta kita itu dihilangkan dan dilupakan saja, diganti dengan persahabatan yang kekal. Permintaan itulah yang saya pegang teguh sekarang. Kau bukan kecintaanku, bukan tunanganku, bukan istriku. Tetapi janda dari orang lain.
Maka itu secara seorang sahabat, bahkan secara seorang saudara saya akan kembali teguh memegang janjiku dalam persahabatan itu sebagaimana teguhku dahulu memegang cintaku. Itulah sebabnya dengan segenap ridho hati ini kau ku bawa tinggal di rumahku untuk menunggu suamimu, tetapi kemudian bukan dirinya yang kembali pulang, tapi surat cerai dan kabar yang mengerikan.
Maka itu sebagai seorang sahabat pula kau akan ku lepas pulang ke kampungmu, ke tanah asalmu, tanah Minangkabau yang kaya raya, yang beradat, berlembaga, yang tak lapuk
dihujan, tak lekang dipanas.
Ongkos pulangmu akan saya beri. Demikian pula uang yang kau perlukan. Dan kalau saya masih hidup, sebelum kau mendapat suami lagi Insya Allah kehidupanmu selama di kampung akan saya bantu.